Menikmati hidangan sahur, berpuasa selama seharian penuh, melakukan berbagai aktivitas ngabuburit untuk menunggu waktu berbuka, menikmati hidangan khas buka puasa, hingga merayakan hari raya Idul Fitri atau Lebaran setelah 30 hari berpuasa. Itulah momen-momen yang selalu dinantikan umat muslim Indonesia setiap tahunnya.
Meski momen-momen ini selalu hadir setiap tahunnya, tradisi-tradisi yang muncul jelang hari raya Idul Fitri ternyata terus mengalami perubahan. Sejarawan, penulis, sekaligus pendiri penerbitan Komunitas Bambu, JJ Rizal, mengatakan ada beberapa tradisi Ramadhan masyarakat Jakarta tempo dulu yang semakin sulit ditemui di masa kini.
Berikut Kompas.com merangkum 6 tradisi lebaran masyarakat Jakarta yang semakin sulit ditemui.
Jika saat ini Anda menemui kondisi Kali Ciliwung yang sangat kotor dan kerap banjir, pada tahun 1960 hingga 1970 kondisinya sangat berbeda. Bahkan JJ Rizal menyebut saat itu Kali Ciliwung digunakan warga Jakarta untuk menggelar tradisi padusan jelang bulan Ramadhan.
Padusan merupakan tradisi sakral yang biasa dilakukan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia untuk menyambut bulan suci Ramadhan. Tradisi padusan sendiri memiliki makna membersihkan jiwa dan raga seseorang sebelum menunaikan ibadah puasa.
Jadi mereka turun ke kali (Ciliwung) untuk mandi terus keramas merang. Dulu merang bikinan sendiri, belum dijual sampo seperti sekarang ini. Air di Kali Ciliwung waktu itu dianggap air yang membawa berkah. Jadi orang turun ke Ciliwung untuk mandi, bersuci, ujar Rizal ketika dihubungi KompasTravel, Kamis (9/5/2019).
Tak hanya itu, pada saat itu masyarakat Betawi percaya bahwa Kali Ciliwung merupakan tempat tinggal para leluhur yang harus dihormati. Saat ini masyarakat Jakarta lebih memilik melakukan tradisi padusan di rumah masing-masing.
Tradisi masyarakat Jakarta dalam menyambut bulan Ramadhan yang semakin sulit ditemui adalah memukul bedug. Pada masa lalu bedug bisanya digunakan masyarakat untuk membangunkan umat muslim saat jam sahur dan sebagai pertanda saat waktu buka puasa telah tiba.
Tak hanya itu, masyarakat Jakarta juga sering menggunakan bedug sebagai kelangkapan pawai sehingga bulan Ramadhan terasa lebih hangat.
Tapi sekarang bedug itu semakin sulit ditemukan. Sekarang lebih suka menggunakan toa. Ada yang beralasan bedug lebih berisik, padahal kan toa juga sama saja, ujar Rizal.
Comments
Post a Comment