Sulit dimungkiri, saat ini tren pendakian gunung semakin digandrungi khususnya di kalangan muda-mudi. Tak jarang pula aktivitas mendaki gunung bermuara pada ajang eksistensi melalui media sosial.
Hari ini, dengan mudahnya seseorang menemukan foto dan video di internet tentang pendakian berbagai gunung di Tanah Air. Lantas, sejak kapan sesungguhnya tren ini bermula?
Ketertarikan orang terhadap hobi pendakian mungkin mulai delapan tahun belakangan ini. Mulanya dari komunitas kecil di online, mulai hype, tutur Wisnu Wiryawan, anggota Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia (APGI) yang lama bergelut dengan wisata pendakian, saat ditemui KompasTravel di bazar Indofest 2019, Kamis (7/3/2019).
Menurut Wisnu, komunitas-komunitas kecil tersebut mulai saling bertukar informasi soal dunia pendakian di jagat maya. Kemudian, benih-benih tren ini disemai oleh aneka suguhan audiovisual yang menggugah rasa penasaran publik, khususnya kalangan muda-mudi.
Akhirnya naik tontonan-tontonan yang berkaitan dengan petualangan, ada juga film-film yang berkaitan sama petualangan. Contohnya, terakhir yang tentang Semeru. Saya nggak mau nyebut merek atau nama filmnya. Iklimnya semakin meningkat dan APGI coba mengakomodasi ini, terang pria bertubuh kurus tersebut kepada KompasTravel.
Ia menerangkan, APGI berupaya mengakomodasi antusiasme wisata pendakian ini dengan menyediakan jasa pemandu gunung bersertifikat.
Menurutnya, hal ini semakin diperlukan karena tak sedikit pendaki yang sebetulnya belum memiliki kemampuan dasar mendaki lantaran tidak pernah bergabung dalam komunitas maupun organisasi pencinta alam.
Salah satu imbasnya, dunia pendakian kerap dirundung kabar duka mengenai kecelakaan sampai kematian para pendaki di alam bebas. Hal ini menjadi noda tersendiri ketika menjangkitnya tren wisata pendakian juga menyisakan pelbagai dampak positif.
Wisnu berujar, Rata-rata kasus kematian yang terjadi adalah masalah fisik. Mostly, berkaitan sama fisik pendaki.
Besar kemungkinan, tren wisata pendakian tidak sebanding dengan edukasi para pendaki.
Masalah fisik itu berkesinambungan, karena berkaitan dengan upaya preventif. Persiapan kurang, manajemen logistiknya kurang. Belum lagi tentang kemampuan survival, ada emergency kit atau nggak. Hal-hal itu yang rasanya mereka belum siap, katanya menjelaskan.
Comments
Post a Comment