Dalam ajaran Islam, terdapat malam kemuliaan di 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Waktu yang disebut sebagai Malam Lailatul Qadar itu jatuh diantara malam-malam ganjil pada 10 hari terakhir Ramadhan.
Malam Lailatul Qadar disebut juga sebagai Malam Seribu Bulan. Hal itu karena nilai ibadah dan kebaikan yang ada pada malam tersebut setara dengan seribu bulan lamanya. Inilah momen yang dinanti umat Islam saat berpuasa.
Di Kota Solo, ada satu tradisi unik dalam rangka menyambut malam kemuliaan. Tradisi unik itu bernama Malam Selikuran yang bisa dijumpai di Keraton Surakarta Hadiningrat pada malam ke-21 bulan Ramadhan setiap tahunnya.
Malam Selikuran dilakukan dengan mengarak tumpeng dengan diiringi lampu ting atau pelita. Tahun ini, tradisi itu diadakan hari Sabtu (25/05/2019) dengan kirab yang dimulai dari Kori Kamandungan Lor Keraton Surakarta sampai ke Masjid Agung Surakarta.
Acara kirab Malam Selikuran diikuti oleh ratusan peserta. Mereka terdiri dari para abdi dalem, pejabat dan keluarga keraton, masyarakat, hingga petugas keamanan dari berbagai elemen seperti kepolisian, Brimob, serta Banser.
Menurut Pengageng Parentah Keraton Surakarta Hadiningrat, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Dipokusumo, tradisi Malam Selikuran ini sudah dimulai sejak lama, saat Pakubuwana X menjadi raja Surakarta.
Jadi ini merupakan tradisi untuk menyambut malam Lailatul Qadar, atau 10 hari terakhir itu mulai malam ke-21. Itu tercatat yaitu ketika zaman Pakubuwana X (1893-1939), ujar pria yang akarb disapa Gusti Dipo itu saat ditemui KompasTravel di Keraton Surakarta (25/05/2019).
Gusti Dipo melanjutkan, setiap malam Lailatul Qadar, Sang Raja memerintahkan semua penduduk untuk membawa lampu ting. Itu karena pada zaman dahulu lampu listrik masih sangat jarang.
Kemudian setelah itu, mengadakan doa di Masjid Agung seperti sekarang. Yakni membawa Hajad Dalem Tumpeng Sewu (seribu tumpeng). Tumpeng seribu itu melambangkan jika ini adalah Malam Seribu Bulan, ujar KGPH Dipokusumo.
Gusti Dipo juga menyampaikan, dahulu setiap kegiatan Malam Selikuran, di depan Masjid Agung Surakarta suasananya semakin ramai seperti pasar malam. Namun Keraton Surakarta sudah memiliki pasar malam sendiri saat Sekaten.
Maka oleh Pakubuwana X, kegiatan Malam Selikuran itu dialihkan ke Taman Sriwedari. Di sana ada taman di tengah semacam kolam. Setiap malam selikuran ubarampe dibawa ke sana dan didoakan bersama dan dibagikan kepada masyarakat, lanjut Gusti Dipo.
Pada perkembangannya, setiap Malam Selikuran di Taman Sriwedari dimulai dengan adanya Maleman Sriwedari atau pasar malam. Namun saat ini lokasi Malam Selikuran di Sriwedari sedang diperbaiki. Oleh karena itu lokasi acara untuk sementara kembali ke Masjid Agung.
Tradisi ini sempat terhenti pada masa Pakubuwana XII dan hanya dilaksanakan di Keraton Surakarta. Namun saat H R Hartomo menjadi wali kota Surakarta, Malam Selikuran kembali dilaksanakan di Taman Sriwedari.
Sempat berhenti karena waktu itu pemahaman budaya masyarakat tidak seperti sekarang. Dulu masyarakat getol bahwa yang dinamakan pembangunan adalah ekonomi dan sebagainya. Di sisi lain ada yang lebih penting yang harus dilihat dari sisi budaya, lanjut Gusti Dipo.
Kini pemerintah Surakarta mendukung penuh pelestarian kebudayaan. Pengembangan dan pelestarian budaya termasuk budaya di keraton telah dilindungi sebagai identitas bangsa.
Menurut KGPH Dipokusumo, Malam Selikuranyang berasal dari kata selikur dengan arti 21 dalam bahasa Indonesia iniakan kembali diadakan di Sriwedari setelah pembangunan selesai. Tradisi ini juga akan terus dilaksanakan setiap tahunnya.
Comments
Post a Comment